Minggu, 11 April 2021

TEORI TEKTONIK LEMPENG

Dalam pemahaman struktur bumi, dulu para ahli beranggapan bahwa daratan dan lautan yang ada di bumi ini bersifat statis hingga kemudian seiring berkembangnya zaman, berkembang pula ilmu pengetahuan serta pemahaman manusia yang membawa pada munculnya teori-teori yang mengatakan bahwa daratan dan lautan bersifat dinamis. Teori inilah yang sekarang kita kenal sebagai Teori Tektonik Lempeng.

Teori tektonik lempeng mulai berkembang sejak meteorolog German, Alfred Wegener, mengenalkan Teori Pergeseran Benua atau Continental Drift pada tahun 1912. Teori itu menyatakan bahwa pada mulanya, semua  benua bergabung menjadi satu dalam supercontinent yang bernama Pangea.

Supercontinent ini terpisah menjadi beberapa bagian dan bergerak ke arah yang berbeda yang kemudian diberi nama Laurasia dan Gondwana karena adanya gaya yang mendorong pergeserannya. Kedua benua ini Kembali terpecah hingga terbentuklah benua-benua yang kita ketahui seperti saat ini.

Untuk mendukung teorinya, Wegener mengemukakan bukti-bukti yang mendukung teori Continental Drift miliknya, seperti:

  • Kesamaan garis pantai Afrika bagian barat dengan Amerika bagian timur.
  • Kesamaan ckarakteristik hewan di India dan Madagaskar.
  • Kesamaan fosil tanaman dan hewan di India, Afrika Selatan, Australia, Amerika Serikat, dan antartika.
  • Kesamaan jenis dan struktur batuan di Amerika Selatan dan Afrika Barat.
  • Adanya bukit/ridge di tengah Samudra Atlantik.
  • Adanya pergeseran medan magnet bumi.
  • Ditemukannya sisa deposit glasial era Perm-Karbon di benua-benua tadi.

Terlepas dari bukti-bukti yang dikemukakan Wegener, ia tidak mampu menjelaskan alasan apa yang mendasari pergerakan benua terebut hingga saling menjahi satu sama lain sehingga banyak dipertanyakan oleh parah ahli.

Meloncat ke tahun 1950-an, pasca Perang Dunia II, kapal-kapal dengan perlengkapan sonar melintasi lautan untuk mengumpulkan pemetaan profil dasar laut pemetaan bawah laut ini menghasilkan banyak pemenuan baru, salah satunya adalah ditemukannya pegunungan besar di bawah laut dengan Panjang lebih dari 16.000 km di Samudra Atlantik yang kemudian dikenal dengan nama Mid-Atlantic Ridge atau Punggungan Atlantik tengah.

Penemuan-penemuan ini mendorong munculnya teori baru yang dikenal dengan Teori Pemekaran Lantai Samudra atau Sea Floor Spreading yang diajukan oleh seorang ahli geofisika Amerika, Harry Hess, pada tahun 1960. Hess menyatakan bahwa bahan cair dari mantel bumi terus mengalir di sepanjang puncak pegunungan di tengah Samudra. Saat magma mendingin, magma didorong menjauhi sisi punggung bukit. Proses penyebaran ini menciptakan dasar laut baru. Dasar laut baru tersebut kemudian masuk secara perlahan ke bawah kerak  benua dan mengalami penggerusan.

Pemekaran Lantai Samudra (Seafloor Spreading)
Pemekaran Lantai Samudra (Seafloor Spreading)

Banyak bukti yang mendukung Teori Seafloor Spreading. Misalnya saja pada studi yang dilakukan dengan termal probe yang mengindikasikan adanya aliran panas melalui sedimen dasar laut yang pada umumnya sebanding dengan aliran yang melalui benua kecuali di atas pegunungan di tengah samudra, di mana aliran panas pada beberapa lokasi berukuran tiga hingga empat kali nilai normal. 

Penelitian juga mengungkapkan bahwa puncak punggungan dicirikan oleh kecepatan gelombang seismik yang sangat rendah, yang dapat dikaitkan dengan ekspansi termal dan fraktur mikro yang berhubungan dengan upwelling magma. Dari sinilah Teori Tektonik Lempeng mulai diterima dan dikenal seperti sekarang dengan persebaran seperti gambar di bawah.

Persebaran Lempeng Dunia
Persebaran Lempeng Dunia

Prinsip Teori Tektonik Lempeng

Setelah mengetahui sejarah perkembangannya, kita dapat mengetahui bahwa prinsip utama dari teori ini adalah bumi tersusun atas lempeng-lempeng yang bergerak. Lempeng tersebut dapat berupa kerak Samudra, kerak benua, ataupun gabungan dari kedua lempeng tersebut. Lantas apa yang menyebabkan lempeng tersebut bergerak? Jawabannya adalah karena adanya arus konveksi yang berupa perpindahan panas pada lapisan astenosfer.

Pergerakan lempeng tersebut menyebabkan terjadinya interaksi antar satu lempeng dengan lempeng lainnya yang berpusat di sepanjang batas dari lempeng-lempeng itu. Interaksi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Gerakan ini terjadi ketika dua empeng bertemu dan saling mendekat. Gerak konvergen dapat menyebabkan fenomena subduksi dan kolisi.

Gerak Konvergen
Gerak Konvergen

Subduksi sendiri merupakan proses dimana lempeng yang lebih tipis masuk ke bawah lempeng yang lebih tebal. Contoh fenomenanya berupa terciptanya Palung Jawa akibat proses subduksi antara kerak benua dengan kerak Samudra pada Pulau Jawa bagian selatan. Sedangkan kolisi merupakan tumbukan dua lempeng yang menyusul adanya proses subduksi. Contoh fenomena kolisi adalah terciptanya Pegunungan Himalaya pada kontinen India yang berkolisi dengan kerak benua pada lempeng Eurasia.

Gerakan ini terjadi ketika dua lempeng bumi saling menjauh satu sama lain. Gerak divergen dapat menyebabkan adannya mid-oceanic ridge ataupun rift valley.

Gerak Divergen
Gerak Divergen

Rift valley merupakan fenomena ketika lempeng benua terbelah menjadi dua karena adanya intrusi magma di tengah lempeng tersebut. Intrusi magma biasanya disebabkan oleh gerak arus konveksi yang mendorong lempeng tersebut ke dua arah yang berbeda.

Gerak transform merupakan gerakan yang terjadi ketika dua lempeng bergesekan dengan arah yang berbeda.

Gerak Transform
Gerak Transform

Gerak transform dapat menimbulkan patahan yang menyebabkan terjadinya gempa bumi tektonik (transform fault). Yang membedakan gerak transform dengan strike slip adalah pada gerak transform terjadi pergerakan antar dua lempeng. Sedangkan pada strike slip terjadi pergerakan dalam satu lempeng yang sama.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar